
Skill yang Paling Bernilai
"Terus Belajar, Jangan Takut Unlearn dan Relearn"
Jenni Maria
11/10/20252 min baca
Di dunia yang semakin dikuasai oleh otomatisasi dan algoritma, keterampilan paling bernilai bukanlah coding, analisis data atau multitasking melainkan kemampuan untuk terus belajar sambil merangkul sisi manusiawi: empati, kepekaan dan emosi.
Menurut laporan International Labour Organization (ILO) tahun 2024 berjudul “Falling Through the Cracks: Skilling and Reskilling for Job Transitions”, jutaan pekerja terutama di negara berkembang masih terpinggirkan dari program pelatihan ulang formal. Mengapa? Karena banyak sistem masih menilai “kesiapan” berdasarkan ijazah, skor tes atau kemampuan bahasa, bukan pada rasa ingin tahu, kemampuan beradaptasi atau kemauan untuk belajar.


Mari kita simak kisah seorang teknisi paruh baya dari kota kecil sebut saja Budi yang telah bekerja lebih dari dua dekade merawat mesin di industri perhotelan. Ketika perusahaannya tutup akibat pandemi, ia kehilangan pekerjaan dan arah hidup.
Seperti banyak orang lainnya, Budi mencoba mencari peluang untuk belajar ulang. Kursus daring, bootcamp digital, hingga pelatihan gratis tersedia di mana-mana. Namun, sebagian besar tampak ditujukan untuk generasi muda yang fasih berbahasa Inggris dan akrab dengan teknologi.
Awalnya, Budi merasa tertinggal. Tapi perlahan, ia mulai belajar dengan caranya sendiri meminjam laptop bekas dari teman, bergabung dengan komunitas daring kecil dan menonton video tutorial singkat setiap malam. Ia mulai membantu tetangga mempromosikan warung makan mereka secara online. Dari coba-coba, tumbuhlah rasa percaya diri yang tenang.
Beberapa bulan kemudian, Budi menyadari bahwa ia tidak hanya belajar alat digital ia sedang belajar kembali cara belajar. Ia menemukan kembali kebahagiaan sederhana dari rasa ingin tahu dan semangat untuk bertumbuh. “Mungkin saya tidak akan pernah mendapat sertifikat untuk ini,” katanya, “tapi saya akhirnya paham bagaimana belajar bisa membuat saya merasa hidup kembali.”
Pengalaman Budi mencerminkan apa yang ditekankan oleh UNESCO (2023) dan OECD Future of Education Report (2024): masa depan kerja dan pembelajaran tidak hanya bergantung pada keterampilan teknis, tetapi juga pada meta-skills — seperti kesadaran diri, empati, kemampuan beradaptasi dan kelincahan belajar.
Belajar bukan lagi sekadar mengejar nilai akademik. Ini tentang menyalakan kembali rasa ingin tahu, memahami diri sendiri dan menemukan makna dalam proses bertumbuh sambil membantu orang lain ikut tumbuh.


1.Redefinisikan arti “qualified”.
Pengalaman, rasa ingin tahu, dan ketekunan sama berharganya dengan ijazah formal. Belajar bisa terjadi di mana saja di kafe, grup WhatsApp atau ruang refleksi pribadi.
2.Latih meta-skills setiap hari.
Empati, kemampuan beradaptasi dan refleksi adalah kekuatan sejati kita di era AI.
3.Rangkul micro-learning.
Luangkan beberapa menit setiap hari untuk menjelajahi ide, alat atau bahasa baru. Dampaknya bisa lebih besar daripada menunggu pelatihan sempurna.
4.Bagikan apa yang kamu pelajari.
Saat kita mengajar atau membantu orang lain, pembelajaran menjadi lebih manusiawi dan bermakna.
Belajar hari ini bukan lagi tentang mengejar gelar atau jabatan. Ini tentang tetap terbuka terhadap perubahan, terhadap orang lain dan terhadap diri sendiri.
Keterampilan paling bernilai bukanlah yang paling teknis. Mereka adalah keterampilan yang paling manusiawi: kasih sayang, pemahaman, dan keberanian untuk terus menemukan hal-hal baru, bahkan ketika dunia bergerak lebih cepat dari langkah kita.
Jadi, apa satu hal menarik yang ingin kamu pelajari bulan ini bukan untuk pekerjaan, tapi untuk dirimu sendiri?


Bagian I : Skilling dan Reskliing
Bagian II : Kisah Pak Budi Seorang Teknisi Paruh Baya
Bagian III : Cara Mengantisipasi dan Beradaptasi
